dinpmd.bojonegorokab.go.id – Dalam rangka memperingati Hari Bhakti Adhyaksa yang ke-62, Kejaksaan Negeri bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro melalui Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) mengadakan Seminar Hukum Penerapan Restorative Justice (RJ), Rabu (20/7/2022) di Pendopo Malowopati. Seminar mengambil topik Wujud Sense of Crisis Jaksa Terhadap Permasalahan Sosial di Masyarakat dalam Penegakan Hukum yang Humanis. Kegiatan ini mengundang camat dan kepala desa se-Kabupaten Bojonegoro.
Kepala DPMD Bojonegoro, Machmuddin, menuturkan kegiatan ini bertujuan memberi pemahaman tentang restoratif justice kepada berbagai kalangan. Kegiatan diikuti oleh Camat dan Kades Se- Kabupaten Bojonegoro, serta para tokoh masyarakat.
“Pada Kesempatan ini, akan ada 3 narasumber yaitu dari Kejari Bojonegoro, Badrut Tamam; Bupati Bojonegoro Ibu Anna Muawanah; dan juga akademisi dari Unugiri Lisa Aminatul Mukaromah,” terangnya.
Dalam acara yang sama, Bupati Anna Mu'awanah menyoroti kedisiplinan 419 kepala desa yang menjadi peserta. Karena ada kades yang datang terlambat. Sebagai Kepala Daerah, Bupati Anna hendak ingin tahu kehadiran para kepala desa, sebab pengetahuan terhadap Restorative Justice itu cukup penting.
Bupati menambahkan kepala desa mempunyai peran yang cukup penting. Mereka ini diharap bisa membantu mediasi untuk mendamaikan dari hal-hal yang tidak perlu masuk pada proses hukum berkelanjutan.
Bupati yang kerap disapa Buk'e oleh masyarakat Bojonegoro ini juga menyampaikan Selamat Hari Bhakti Adhyaksa 2022 yang mengusung tema ‘Kepastian Hukum Humanis Menuju Pemulihan Ekonomi’.
“Pada kesempatan ini saya ucapkan selamat hari Adhyaksa yang ke-62, Semoga keadilan makin mengayomi, bagi seluruh warga Bojonegoro khususnya,” tandas Bupati Anna.
Sementara itu, Kepala Kejaksaan Negeri Jawa Timur Mia Amiati mengatakan, restorative justice merupakan gagasan baik. Sebab menyentuh langsung pada seluruh lapisan masyarakat. Dalam hal ini berkaitan dengan camat, kepala desa, hingga perangkat desa yang tentu merasakan langsung bahwa keadilan itu ada untuk lapisan masyarakat paling bawah.
“Atas nama pimpinan mengucapkan terima kasih kepada seluruh jajaran kejaksaan negeri dan panitia atas terselenggaranya acara dan bersinergi dengan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa,” ujarnya mengawali seminar sebagai perayaan Hari Bhakti Adhyaksa ke-62.
Dia menuturkan, paradigma saat ini masih ada beberapa kalangan yang memandang hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Sebab ada beberapa kasus yang mencederai keadilan masyarakat. Salah satu penyebabnya adalah hukum yang tidak humanis. Seolah-olah berlaku, manusia adalah hukum. Bukan hukum untuk manusia. Sehingga rasa keadilan bagi masyarakat terabaikan.
Humanisme sangat dibutuhkan dalam proses penegakan hukum. Berupa lingkungan budaya dan kearifan lokal. Mia menegaskan, aparat hukum dalam memproses perkara harus menggunakan hati nurani. Dengan hati nurani dapat menentukan nilai moral untuk menghindari penerapan pasal-pasal peraturan perundang-undangan secara menyimpang yang akhirnya justru akan memberikan keadilan yang tidak pada tempatnya.
"Penerapannya harus mendasar pada kehidupan sosial di masyarakat," ujarnya.
Penerapan hukum humanis diharapkan dapat mempertimbangkan keadilan dan dua aspek yaitu aspek pelaku dan aspek korban. Dalam hal ini tidak hanya berfokus pada pelaku kejahatan dan mengabaikan hak-hak korban.
Masih dalam kesempatan yang sama, Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Bojonegoro Badrut Tamam menuturkan, sejak pendirian rumah Restoratif Justice di 2021, Kajari Bojonegoro telah melaksanakan 13 perkara yang sudah di-RJ kan hingga 2022.
"Itu semua sudah dilakukan bersama-sama dengan Bapak Ibu kades di Kabupaten Bojonegoro. Tanpa peran camat, kepala desa, perangkat desa hingga tokoh, kita tidak akan pernah tahu apakah hal tersebut layak dan patut dihentikan penuntutannya berdasakan RJ," ujarnya.
Sebab, kepala desa berperan sebagai orangtua di daerah masing-masing yang tahu keadaan sosialnya. Diharapkan adanya sense of crisis (kepekaan), jaksa tidak menggunakan kaca mata kuda dalam melihat kesalahan yang bersangkutan bahwa dia melanggar hukum. Inilah kesempatan untuk melihat melalui sisi sosial.
"Kasus terakhir, ada seseorang terpaksa mengambil uang (menjambret). Ternyata untuk membiayai kelahiran istri. Di sini korban memberikan maaf," pungkasnya.
Badrut menjelaskan, ada hati nurani bagaimana menegakkan keadilan. Sehingga tidak mendasar pada hukum yang ada. Melainkan juga melihat sisi hukum dari sisi manfaatnya. Peran desa di sini mengayomi dan tidak mengadili. Sementara pemerintah hadir untuk mewujudkan hukum tajam ke atas dan tumpul ke bawah.
Lantas dimanakah letak RJ? Badrut menjelaskan, proses perkara sudah berlangsung, surat dan alat bukti sudah cukup, dan sudah layak sidang, tapi jaksa menghadapi ada nilai hukum sosial di sana. Di salahlah letak perkara tersebut layak di RJ-kan.
Adapun syarat Restoratif Justice di antaranya :
1. Bukan residivis. Artinya, tidak melakukan tindak pidana pengulangan
2. Perkara yang ancaman pidana tidak melebihi lima tahun.
3. Nilai kerugian tidak lebih dari 2,5 juta
4. Hanya diperuntukkan kepada perkara kecil
5. Ada unsur jera
Sumber : https://bojonegorokab.go.id/
Sangat Puas
83 % |
Puas
0 % |
Cukup Puas
0 % |
Tidak Puas
17 % |